KANG IWA-GURU BESAR BKC(BANDUNG KARATE CLUB)

 

Primbon Jawa

 

JodohKu

Hidup memang penuh kejutan, setidaknya bagiku. Semuanya berawal dari pembicaraanku dengan Mama sebulan yang lalu. Aku dan Mama sedang sarapan saat Mama tiba-tiba membuka pembicaraan.

“Sampai kapan Mama harus mengurus kamu, Bram?” pertanyaan Mama membuatku tertegun.

”Maksud Mama?” aku menatap Mama. Mencoba menerka arah pembicaraannya.

”Yah, bukankah sudah saatnya ada perempuan lain yang menemani kamu sarapan?” Mama tersenyum menatapku.

Mungkin memang sudah waktunya aku menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Penghasilanku sebagai manager di salah satu perusahaan asing cukup memadai untuk berumah tangga. Apalagi yang ditunggu? Pertanyaan ini sudah sangat sering kudengar dari kerabat ataupun kolegaku.

Aku tersenyum kecil.

”Mama tahu, kamu merasa bertanggungjawab kepada Mama dan adik-adikmu. Tetapi jangan lupakan yang satu itu. Mira sudah berkeluarga, Dewi juga. Sementara Mama sudah lebih dari cukup menerima perhatianmu. Mama sangat bersyukur memiliki anak sepertimu.”

Aku terdiam.

”Bram, Papa titip Mira dan Dewi… juga Mama…” Papa berbisik perlahan sehari sebelum kematiannya, sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, Mira baru saja masuk kuliah dan Dewi masih kelas satu SMU. Sejak itu, hari-hariku kuisi dengan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

”Bram…” Mama menunggu jawabanku.

”Iya, iya, Insya Allah. Ma…”

Mama benar. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menunda rencana berkeluarga. Dewi sudah menikah tiga bulan yang lalu. Amanah Papa sudah kutunaikan. Persoalannya adalah, siapa wanita yang akan kunikahi? Aku tidak pernah pacaran. Aku takut terjebak melakukan perbuatan yang tidak baik. Alternatif calon juga tidak ada. Jadi, siapa yang akan kulamar?

Sebenarnya, aku bisa minta bantuan kepada orang lain. Mama, kerabat atau kolegaku dengan senang hati pasti akan berusaha membantu. Tetapi, sebelum meminta bantuan orang lain, aku akan shalat istikharah dulu. Aku ingin melangkah dengan tenang.

Dan terjadilah keajaiban itu. Setelah dua kali sholat, tiba-tiba Laras muncul dalam mimpiku. Begitu jelas. Laras? Aku tercengang. Laras adalah teman kuliahku di Pasca Sarjana. Sudah hampir dua semester ini aku kuliah lagi di salah satu PT terkenal di Jakarta. Ia sangat cerdas dan rasional. Ia juga kerap membantaiku dalam diskusi-diskusi di ruang kuliah.

”Menurut saya, teori yang saudara gunakan untuk menganalisa persoalan ini tidak tepat. Terlalu dipaksakan…” komentar Laras saat membantaiku seminggu sebelumnya terngiang kembali di telingaku. Komentar yang diucapkannya dengan santun itu selalu membuatku gelagapan. Komentarnya selalu logis, ilmiah dan sulit dibantah. Sudah berkali-kali aku dan teman-teman ’dibantainya’.

Ya, mengapa harus Laras? Perempuan yang kepribadiannya begitu kuat dan tenang, sampai tidak ada pria yang berani menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Sebenarnya Laras baik, sangat baik. Ia tidak pernah segan membantu orang lain atau berkata kasar. Tetapi aku benar-benar sungkan menghadapinya. Apalagi membayangkan harus melamarnya.

Mimpi itu juga menyisakan pertanyaan buatku. Benarkah ini isyarat Allah? Atau, aku diam-diam menyukainya sehingga sosok Laras muncul dalam mimpiku. Aku bimbang.

“Bagaimana, Bram?” Mama meminta kejelasan dariku dua minggu kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.

“Belum ada calon? Apa perlu Mama bantu?” Mama menatapku.

Aku tergagap. “Tidak perlu, Ma. Saya akan mencoba mencari sendiri saja.” Mama tersenyum. Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku berhasil menenangkan Mama.

Malamnya, aku mencoba menenangkan diri dan mulai shalat istikharah lagi. Kali ini, aku mencoba lebih tenang dan pasrah kepada Allah. Aku mencoba melepaskan segala kebimbangan dan sungguh-sungguh meminta keputusan-Nya.

Aku berjalan bersisian dengan Laras. Begitu dekat. Laras tersenyum. Manis dan sangat lembut. Mimpi itu lagi! Aku terbangun menjelang pukul tiga dinihari. Sebentuk perasaan aneh masih sempat kurasakan saat aku terbangun. Indah!

Apakah Laras memang jodohku? Pertanyaan itu kembali bermain dalam benakku. Aku mencoba menelisik kembali kejernihan hatiku. Benarkah aku memang tidak terobsesi kepada Laras? Aku mengurai kembali semua interaksiku dengan Laras. Sejak pertemuan pertama.

”Saya Laras!” Ia memperkenalkan diri dengan lugas, tanpa senyum. Juga tanpa jabat tangan. Aku hanya mengangguk.

”Bram.” Aku menyebutkan namaku. Dingin, tapi cukup sopan. Itu kesan pertamaku. Ia tidak genit atau cerewet seperti satu dua orang perempuan yang pernah kukenal. Seingatku, tidak pernah ada momen istimewa antara aku dengan Laras. Benar-benar hanya hubungan antar-teman kuliah. Aku malah lebih akrab dengan Susi, teman kuliahku yang lain. Aku juga tidak pernah merasa ’aneh’ saat berinteraksi atau berpapasan dengannya. Bahkan ketika aku nyaris bertabrakan dengannya. Semua wajar dan biasa saja.

So? Aku masih tetap ragu. Kuputuskan untuk menunggu sampai benar-benar merasa yakin. Dan selama masa menunggu itu, terjadi suatu peristiwa yang semakin membuatku merasa ciut menghadapi Laras.

”Maaf…” Laras mengacungkan tangan. Semua mata tertuju kepadanya. Aku menahan napas. Apa yang akan dikatakannya kali ini. Aku berdebar-debar menunggu komentarnya atas makalah yang kupresentasikan.

”Menurut saya, makalah ini tidak memenuhi kualifikasi ilmiah.” kata-kata itu diucapkannya dengan nada meminta maaf. Aku terkejut. Makalah ini memang kusiapkan dengan terburu-buru. Pekerjaanku di kantor sedang bertumpuk. Beberapa teman menggumam. Dosenku tersenyum kecil. Ia sudah biasa menghadapi Laras.

Aku tersinggung dan merasa dipermalukan. Ini adalah komentar paling tajam yang pernah dilontarkan Laras kepadaku. Walaupun kemudian aku bisa menerimanya saat ia dengan argumentatif menjelaskan kelemahan makalahku.

Kejadian itu membuatku semakin ragu. Entahlah, barangkali aku merasa tidak siap mempunyai istri yang dapat membantaiku setiap saat. Atau mempertanyakan kebijakanku sebagai suami. Aku memang tidak terbiasa dipertanyakan seperti itu. Kedudukanku sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga membuat adik-adikku dan Mama memperlakukanku secara istimewa. Apa kata Mas saja, terserah Mas… Selalu itu yang kudengar dari mereka. Kalaupun mereka tidak sependapat denganku, tidak pernah ada yang secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya. Begitu juga dengan bawahanku di kantor.

Aku semakin tidak berani menghadapinya setelah peristiwa itu. Jadi, untuk sementara aku terpaksa menenangkan diri lagi. Tapi, desakan dari Mama tiga hari yang lalu membuatku terpaksa bertindak.

”Bram, mungkin sudah waktunya Mama membantu. Sudah sebulan, dan kamu belum juga bertindak apa-apa. Mama sudah semakin tua, Bram. Belakangan ini, Mama semakin sering sakit. Mama tidak ingin terjadi sesuatu pada diri Mama sebelum kamu menikah…” Mama berkata setengah memohon. Aku menunduk.

”Bram…”

Aku menatap Mama. Mama menarik napas panjang. Aku menunggu Mama bicara.

”Kalau tiga hari lagi tidak ada keputusan, Mama akan mencari calon untuk kamu. Kamu kenal Nita? Anak Bu Retno? Nita baik, lho… Dia juga cantik dan terpelajar…” Bla…bla…bla. Hampir lima belas menit Mama bercerita tentang Nita. Aku kenal Nita. Nita memang baik, tetapi bukan itu persoalannya. Aku ingin menuntaskan masalah Laras dulu.

Tidak ada jalan lain. Akhirnya, kumantapkan hatiku untuk bicara dengan Laras. Tapi, bagaimana caranya? Lewat telepon? Nomor telepon Laras saja aku tidak punya. Atau, mengajaknya bicara secara langsung? Bagaimana kalau ia menolak dan membantaiku seperti ia membantai makalahku?

Akhirnya, kuputuskan untuk meminta nomor telepon Laras dari Susi. Aku berhasil menghindar dari pertanyaan Susi dengan memberinya sebentuk senyuman aneh. Untungnya, ia tidak bertanya lebih jauh.

Malamnya, aku mencoba menelepon Laras. Aku menggenggam Hp-ku dengan perasaan tidak karuan. Dengan tangan gemetar aku menelponnya.

”Halo, Assalamu’alaikum!” Suaranya terdengar tegas. Tiba-tiba aku merasa tidak siap berbicara dengannya.

”Halo! Halo!”

Aku mematikan Hp-ku. Looser! Gerutuku dalam hati. Aku benar-benar tidak berdaya.

”Bram, waktunya tinggal hari ini.” Mama menatapku serius saat aku berpamitan tadi pagi.

”Ya, Ma. Aku usahakan.” Aku menjawab ragu.

Jadi, hari ini, mau tidak mau aku harus bicara dengan Laras. Aku berangkat ke kampus dengan gugup. Sampai di kampus, aku mencari-cari Laras. Sosoknya tidak kelihatan sampai kuliah dimulai. Lebih kurang lima belas menit setelah kuliah dimulai, Laras muncul. Ia menuju ke arahku dan mengambil tempat di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang tersisa siang itu. Laras duduk dengan tenang di sebelahku dan segera mengikuti kuliah. Aku semakin gelisah. Tubuhku mulai berkeringat.

Kuliah usai. Aku menunggu kesempatan untuk bicara dengannya. Aku sengaja memperlambat berkemas sambil menunggunya. Satu persatu teman kuliah meninggalkan ruangan. Akhirnya, setelah ruangan cukup sepi, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.

”Laras! Boleh saya bicara?”

Laras menghentikan kesibukannya membereskan buku-buku dan beberapa makalah yang berserakan.

“Ya.” Ia melanjutkan kesibukannya tanpa menatapku sama sekali.

Tanganku gemetar. Suaraku tersekat di tenggorokan.

”Ada yang bisa saya bantu?” Laras akhirnya melihat ke arahku. Ia mulai kelihatan tidak sabar dengan sikapku. Ia sudah selesai membereskan buku-bukunya.

Aku masih tidak mampu bicara. Keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Ya Allah, aku benar-benar grogi.

”Bram!” suara Laras meninggi.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sejenak. Yudi, satu-satunya teman yang masih berada di ruang kuliah menoleh ke arah kami.

“La..ras…” Suaraku tersendat.

Laras menatapku bingung.

“Ehm… would you… ehm… marry me?” aku tergagap. Akhirnya, keluar juga perkataan itu dari mulutku.

Laras menatapku heran. Ia menunduk, berpikir sejenak. Aku menunggu. Rasanya seperti menunggu sebuah vonis.

”Kupikir, itu bukan ide yang baik,” katanya setelah beberapa menit terdiam. ”Aku duluan, Bram. Assalamu’alaikum…”

Aku terpana. Aku masih juga terpana saat tiba-tiba Yudi menepuk pundakku.

“Apa tidak ada cara yang lebih romantis, Bung?” Yudi tersenyum. Aku salah tingkah.

Begitulah, proses perjodohanku terpaksa kandas di tengah jalan. Aku tidak patah hati. Tentu saja karena aku memang tidak pernah jatuh cinta pada Laras. Tetapi kuakui, aku cukup terpukul dengan kenyataan ini. Ternyata, aku tidak cukup pandai membaca isyarat Allah. Atau, caraku yang tidak baik? Melamar di ruang kuliah tanpa prolog seperti itu memang naif sekali.

Sore itu aku pulang dengan lemas. Mama duduk di teras, sedang asyik dengan koran sore dan secangkir teh hangat. Setelah mencium tangan Mama, aku menghempaskan tubuh di kursi.

Mungkin Mama bisa menangkap kegetiranku. Mama mengusap rambutku. Aku bersyukur Mama tidak membuka pembicaraan mengenai perjodohanku. Aku tidak siap.

Sepanjang sore itu aku mencoba menenangkan diri. Aku mencoba bersikap realistis menghadapi kenyataan ini. Aku percaya, Allah akan memberikan seorang pendamping untukku.

Pikiranku masih tidak menentu saat aku bangun tadi pagi. Aku shoalat istikharah lagi tadi malam. Tapi kali ini, aku tidak memperoleh isyarat apa-apa. Akhirnya, kuputuskan untuk bicara dengan Mama. Toh, Nita gadis yang baik juga.

Aku mendahului bicara sebelum Mama bertanya tentang keputusanku.

”Ma…”

”Ya? Kenapa, Bram?”

”Aku…” Aku terdiam sejenak. Aku baru akan melanjutkan ucapanku saat sebuah pesan masuk. Aku meraih HP yang tergeletak di meja dengan enggan.

Laras???

Apa lagi yang akan dikatakannya sekarang? Berdebar aku membuka pesannya.

Setelah saya pikirkan lagi, ide kamu tidak terlalu buruk. Tawarannya masih berlaku?

Aku terpana. Hidup memang penuh kejutan.[]
 

Lagi Falling In Love

Aku masih tidak mengerti apa sebab mukanya itu selalu muncul dalam pikiranku. Menyusup perlahan-lahan memenuhi ruang di batinku. Setiap hari. Terbayang yang indah-indah. Setengah mati aku coba buang, tapi herannya muka itu selalu datang lagi datang lagi setelah sekian banyak diusir. Padahal muka itu tidak cantik, tidak indah, mukanya biasa. Hidungnya tidak mancung. Bibirnya tidak sensual. Pipinya tembem. Mukanya bulat. Pokoknya sangat biasalah. Semisal diukur dalam kategori cantik, jelas muka itu tidak termasuk.

Lagipula orangnya pendek, tidak tinggi seperti aku. Suka bicara kasar dan kalau tertawa suka terbahak-bahak, memenuhi ruang kepala dari ubun-ubun. Membuat bising hingga pusing. Tapi kenapa mukanya selalu muncul? Itu yang kupertanyakan. Apa aku tertarik padanya? Jika iya, kenapa aku bisa tertarik? Semisal tidak, kenapa mukanya selalu ada di dalam kepalaku? Kenapa hayo?

Ilustrasi Sa dalam cerpen cinta berjudul Lagi Falling in Love

Aku menjambak-jambak rambut di kepalaku. Bingung. Selain juga berupaya menyingkirkan mukanya itu dari benakku. Siapa tahu dengan begitu mukanya itu bisa keluar dari dalam kepalaku dan tergantikan dengan mukanya Jessica Simpson yang aduhai. Namun tetap saja tak bisa, semakin berusaha kubuang muka orang itu semakin teringang selalu. Tidak sewaktu diam. Tidak sewaktu bergerak. Tidak sewaktu tidur. Makan, minum, bernafas, ke sekolah. Mukanya selalu hadir dengan sosoknya, bermain-main di pikiran. Seolah dia hantu yang diutus iblis untuk mengganggu hidupku. Ah, apa coba sebabnya?

***

“Itu tanda-tanda orang jatuh cinta,” Ambon, teman sekelasku, bilang begitu. Kala bel sekolah belum berdentang kencang-kencang menyuruh para siswa masuk ke ruang pengajaran. Saat itu aku bercerita kepadanya perihal bayang-bayang muka yang selalu memenuhi ruang kepalaku setiap hari itu.

“Kok bisa?” Tanyaku.

“Itu jelas,” tambah Ambon lagi, “kelihatan banget tuh. Kamu memikirkannya setiap hari. Terbayang-bayang mukanya di mana pun. Kapanpun. Walau kamu sudah menepisnya berulang kali.”

“Aku pikir itu nggak mungkin,” kilahku, “hatiku nggak bilang begitu kok. Tahulah diriku, apabila jatuh cinta pada seseorang.”

Tapi Ambon mengacuhkan jawabanku dan malah menambahi pertanyaannya, “memangnya sudah berapa lama mukanya membayang-bayangi pikiranmu?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Menerawangkan mataku ke atas langit-langit. “Kupikir... semenjak aku mengenalnya. Tapi sumpah, mukanya baru masuk dalam pikiranku sekitar seminggu yang lalu.”

Ambon lalu mendekati wajahku dan mengerlingkan matanya dengan nakal. “Aha, that it’s! Your’s falling in love,” ungkapnya yakin.

“Hah?” Mataku melongo mendengar vonis Ambon itu, “nggak mungkin!!”

Tepat pada saat itu, bel masuk berbunyi bertalu-talu. Ibu Ima, si guru bahasa Inggris yang galak masuk, mengajar. Aku nggak bisa konsentrasi lantaran kata-katanya Ambon.

***

Beberapa hari sebelumnya, kata-kata Ambon memang terdengar sangat dashyat. Aku sempat shock lantaran kata-kata itu. Tapi, sejak saat itu aku tak lagi memikirkan kata-katanya. Toh, itu hanyalah pendapatnya saja. Bukan kenyataan rasa yang terjadi pada diriku. Lagipula aku sudah berhasil menyingkirkan muka itu. Muka milik seorang gadis bernama Sa. Lengkapnya Mahtisa Iswari.

Dia gadis kecil, pindahan dari salah satu kota di bagian barat Pulau Jawa, Bandung. Anaknya ramah, rame, gaul, funky dan menyenangkan—bisa membuat suasana menjadi lebih segar, begitu penilaian teman-teman. Tapi bagiku, tidak. Justru sebaliknya. Suaranya yang keras membuat kepalaku pusing. Cara tertawanya itu lho. Sejak awal dia pindah ke kelas ini tiga bulan lalu, aku tak menyukainya. Tapi sebagai seorang cowok yang baik dan budiman, aku tak menjudesinya. Biasa saja, selaiknya orang-orang lain. Hanya saja, aku tak ingin berakrab-akrab ria sama dia. Aku jaga jarak saja.

Tapi semua itu, berbalik 180 derajat. Ada kejadian yang membuat pembalikan itu. Kejadiannya terjadi seminggu yang lalu. Waktu itu, kelas sedang ramai. Guru pengampu mata pelajaran Biologi, sedang sakit hari ini, jadi tidak masuk. Dan seperti kebiasaan kelas, kami membiarkan saja kelas tetap kosong. Kami tak ingin pergi ke guru piket untuk mengganti guru yang lain. Ketua kelas dilarang kesana, jika kesana, dia akan digebuki sama anak-anak cowok sekelas, termasuk aku. Sebabnya? Ini Indonesia. Murid-murid sekolah akan sangat kegirangan saat, guru tak masuk kelas alias kosong. Dan membiarkan diri kami berleha-leha dan membicarakan omong kosong selama jam kosong.

Tapi si anak baru itu, nampaknya belum mengenal budaya kelas kami. Dia dengan serta merta keluar dari kelas, berniat memanggil guru pengganti. Aku yang tahu dia keluar segera menyusulnya.

“Jangan jadi pengkhianat ya...”

Dia merengut, mukanya ditekuk. Dia hampiri aku dan berkata, “kelas rame Son, aku pikir lebih baik ada guru yang masuk ke kelas. Supaya diisi, nggak rame seperti sekarang.”

“Tidak. Kamu nggak tahu budaya kelas kami,” kataku agak keras, “kita itu udah biasa begini. Kamu harus tahu itu!”

“Oh, jadi begitu?” tanyanya dengan nada merendahkan.

Aku naik pitam karena dia ngeyel. “Ihhh… DASAR PENDEK!”

Matanya memerah menahan amarah. Dia memang tidak jadi ke ruang guru, melainkan berlari ke kelas. Mengambil tas lalu pulang. Beberapa hari kemudian dia tak datang ke sekolah. Aku jadi merasa bersalah dengan tingkahku. Teman-teman lain juga menyalahkanku.

“Seharusnya kamu nggak perlu mengatainya,” kata Darliah.

“Kamu terlalu kejam!” tutur Astika.

“Ahhhh...” Wowor hanya geleng-geleng kepala saja.

Komentar-komentar itu teringang di dalam benakku. Jujur, aku merasa bersalah. Aku pun berniat meminta maaf.

Ditemani oleh Ambon, Darliah, Wowor, Astika dan teman-teman sekelas lainnya. Aku mendatangi rumah Sa. Aku meminta maaf padanya.

“Ok, aku maafin,” katanya, “tapi jangan ulangi ya.”

Aku mengangguk-angguk. Namun, justru karena itu, hari-hari berikutnya aku jadi akrab dengannya. Ada pepatah bilang, jika kau bertengkar dengan temanmu, itu tandanya kau akan semakin akrab dengannya. Entah benar entah tidak pepatah itu, aku tak peduli. Jadi, di antara aku dan sohibku, Ambon, tersembul juga Sa di tengah-tengahnya. Anehnya, hal ini kemudian membuat mukanya jadi terpikirkan dibenakku. Bukan yang buruk-buruk, tapi yang indah-indah. Cinta? Entahlah...

***

Aku sedang bersantai hari ini. Menikmati hari Minggu yang menyenangkan. Aku tak ada kegiatan apa-apa, kecuali mengurusi ikan-ikan cupangku. Mengganti airnya dan memberinya encuk (jentik nyamuk). Tapi sangat membosankan betul sendirian tanpa kawan. Beberapa jenak kemudian, Mami memanggil dari dalam rumah. “Son, ada telepon tuh,” kata mami.

“Dari siapa, mi?” tanyaku.

“Seorang cewek yang ngakunya bernama Sa.”

Hah, Sa? Segera kutinggalkan asal-asalan perlengkapan ikan cupang. Aku segera cabut ke dalam.

“Halo?”

“Son, lagi apa?” tanyanya di seberang gagang telepon. Nadanya terdengar ceria.

“Ah, sedang nggak ngapa-ngapain,” jawabku, padahal aku sedang mengurusi ternak-ternakku.

“Emmm, main yuk,” ajaknya.

Entah kenapa aku bersemangat sekali menerima ajakannya, mungkin karena aku suntuk berada di rumah tanpa kawan bicara, maka dengan cepat kutimpali, “Ayuk.”

“Ke mana?”

“Ke mana aja terserah, asal nggak ngajak ke bulan. Soalnya aku nggak bisa terbang.” Ia pun terbahak mendengar banyolanku. Dan seperti biasanya membuat kepalaku bising dan pusing. Tapi aku senang bisa membuatnya tertawa.

“Bisa, aja kamu. Mmm, ntar kita ke Parangtritis yuk,” katanya.

“Boleh,” jawabku.

“Yah udah, sekitar jam 4-an nanti, sehabis Kick Andi jemput aku ya. Sekarang lagi nanggung nih.”

“Oke.”

Setelah telepon diputus, di pikiranku menyeruak dengan beragam angan-angan. Jangan-jangan Sa menyukaiku, begitu pikirku. Aduh, bagaimana ini. Aku nggak bisa nerima dia, kalau-kalau dia menyatakan cintanya padaku. Tapi, tetap berangkat juga aku ke tempatnya, setelah waktu yang disepakati menunjukkan ketepatannya. Aku menyelah sepeda motorku. Memacu menuju rumahnya.

***

Hari sudah beranjak senja, ketika kami sampai di pelataran parkir pantai Parangtritis. Usai memarkirkan motor, kami berjalan mendekati garis tepi pantai, di mana banyak orang-orang di sana. Akhirnya kami duduk berdua-duaan juga. Agak jauh dari kerumunan orang. Kami duduk menghadap laut selatan. Aku di sebelah kiri, dia di sebelah kananku. Menatap ombak laut yang sedang bergulung-gulung tak beraturan.

Dalam keremangan hari, kuperhatikan Sa dalam siluet senja. Ia berubah, pandangan mataku melihatnya lebih menawan dan cantik. Hidungnya yang tidak mancung, kelihatan mungil sekarang. Bibirnya pun lucu. Pipinya lebih gembil daripada yang biasa kuperhatikan pada hari-hari sebelumnya. Aku coba menepis bayangan Sa dalam pikiranku yang sedang menari-nari menguakkan keindahan tentangnya.

“Kamu sedang lihat apa, Son?” Tanya Tisa, yang sungguh membuatku terkejut bukan alang-kepalang. Apalagi, ia memalingkan mukanya ke arahku, seolah sadar sedang kuperhatikan.

“Ah, nggak,” jawabku tergagap, “ehh... sen... senjanya bagus ya?” Kualihkan pertanyaannya yang membuat jantungku hampir copot. Bagaimana seandainya dia tahu apa yang sedang kuperhatikan darinya. Ia pun kemudian mengalihkan pandangnya ke sunset yang segera tenggelam itu. Meskipun Pantai Parangtritis merupakan bagian dari pantai selatan, sedikitnya keindahan sunset bisa dilihat dari sini. Karena di sini luas jangkau pandangan mata tidak tertutup oleh apapun, kecuali tanah-tanah yang sedikit lebih menjulang di sebelah barat.

Beberapa menit kemudian gulita pun memakan cahaya mentari. Belum pernah kulihat keadaan Parangtritis di malam hari. Baru kali ini. Beberapa pedagang penjual jagung bakar mulai membuka gerai-gerai mereka. Menyajikan makanan peneman anak-anak muda yang sedang digandrung cinta. Mereka berjejer sepanjang pantai, menerangi pantai yang sangat gulita. Mulai saat itulah seluruh perasaan menjalari hatiku.

***

Aku memandang langit-langit kamarku. Lagi-lagi membayangkan muka itu. Apa coba sebab, muka itu masuk di dalam pikiranku. Aku menghitung-hitung. Memang ada beberapa bagian yang tak kusukai dari Sa. Pun sebaliknya, juga ada bagian-bagian yang menarik darinya, yang tak kutemukan dari cewek-cewek lain yang pernah kukenal. Apa adanya, simpel, enerjik dan... nilai-nilai itulah yang membuatku tertarik.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengakui bahwa aku jatuh cinta sama Sa. Walaupun ada perasaan ragu-ragu di dalam hatiku. Aku meyakinkan diriku sendiri. Ah, aku merasa bahagia sudah jujur pada diriku sendiri. Aku pun ingin membagi kebahagiaan ini pada Ambon. Tak berapa lama kemudian kumenghubungi sahabat baikku itu. Kupijit-pijit nomor teleponnya.

“Halo?” Ambon bertanya dari seberang sana.

“Mbon, sekarang aku udah yakin sama perasaanku,” aku kegirangan betul berkata kepada Ambon soal ini.

“Perasaan apa?”

“Yah, soal sesuatu yang pernah kau katakan padaku beberapa tempo hari yang lalu. Soal, Sa.”

“Oh.”

“Lho kok oh doang. Kesannya nggak antusias nih,” aku memrotes reaksi Ambon yang terkesan tidak antusias.

“Emangnya aku harus gimana? Jejingkrakan nggak jelas, gitu? Toh semisal pun begitu kamu nggak bakal ngelihat aku kan?”

“Oiya ding...hehehe...”

“So, apa yang mau kamu lakukan?”

“Besok aku akan menyatakan cinta padanya,” kataku bersemangat.

“Aduh...” jawab Ambon.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Barusan Sa bilang sama aku. Katanya, dia udah jadian sama mas Pur, temen bapaknya. Lho, Son? Son? Kamu masih di sana...”

Bagai tersengat listrik tubuhku bergetar. Aku lemes, jantungku berdetak lebih kencang. Picu aliran darah mengalir lebih deras dalam tubuhku. Hpku terlepaskan dari genggaman. Masih terdengar jelas suara Ambon berteriak-teriak mencariku. Aku lemes. Menyesal kenapa aku tidak meyakini perasaanku lebih cepat kemudian mengutarakan perasaanku padanya. Tapi seperti pepatah bilang, penyesalan selalu hadir belakangan.

Aku berjalan keluar dari kamarku. Ingin mencuci muka dan tidur lebih cepat. Biar bisa segera melupakan perasaanku sama Sa. Sesampainya di tempat tidur, kutarik selimutku, sambil berdoa, “Tuhan semoga aku bermimpi indah tentang Sa malam ini. Karena hanya dalam mimpi saja aku bisa merasakan dirinya menjadi milikku seorang.” (End)